Sesungguhnya perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah merupakan bagian
tak terpisahkan dari sejarah besar bangsa Indonesia. Penelusuran
sumber-sumber sejarah yang ada menunjukkan bahwa segera setelah
keruntuhan Khilafah Turki Usmani, sejumlah besar tokoh pergerakan
beserta ummat Islam turut terlibat dalam perjuangan penegakan kembali
Khilafah Islam. Sebut saja H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Agus Salim, K.H.
Fakhrudin dan K.H. Mas Mansur. Mereka bukan sekadar pahlawan nasional,
Lebih dari itu, mereka adalah aktor penting perjuangan Khilafah kala
itu.
Meskipun cukup singkat dan segera
lenyap tergerus arus perjuangan nasionalisme, fakta sejarah ini harus
diungkap supaya tidak ada missing link dalam sejarah perjalanan bangsa.
Adalah hak seluruh anak bangsa untuk memahami sejarah perjuangan
pendahulunya secara utuh tanpa ada yang disembunyikan. Dengan demikian,
kita dapat memetik pelajaran berharga sebagai bekal untuk menjalani
kehidupan saat ini.
Perjuangan Khilafah 1924-1927
Eksistensi sejarah umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan khilafah
telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya
adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto,
dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka.
Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in
Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat
Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi
juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.
Lalu Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN
Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia
dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat
antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah
merupakan simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia.
Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van
Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East
Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa
penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar
untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud,
mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia
sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip
Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu
bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat
Islam di negeri ini”.
Selanjutnya penulis juga telah melakukan penelitian sejarah dengan basis
akademik yang ketat mengenai perjuangan khilafah saat itu dengan judul
penelitian Peran Surat Kabar Bandera Islam dalam Perjuangan Khilafah
1924-1927 (UI, 2013). Penulis berusaha melengkapi penelitian-penelitian
yang telah ada dengan cara melakukan penelusuran langsung sumber-sumber
sejarah yang otentik, baik sumber primer maupun sekunder. Salah satu
sumber otentik yang ditemukan sekaligus menjadi obyek penelitian adalah
sebuah surat kabar yang terbit pada tahun 1924 hingga 1927 yang bernama
Bandera Islam
![]() |
Surat Kabar Bandera Islam edisi "Chilaafat" Kamis 25 Desember 1924 |
Surat kabar yang sampai sekarang masih tersimpan dalam kondisi baik ini
diterbitkan oleh Sarekat Islam: salah satu organisasi yang
memperjuangkan Khilafah saat itu. Dahulu surat kabar ini digunakan oleh
Sarekat Islam sebagai media propaganda dalam perjuangan khilafah. Oleh
karena itu, Bendera Islam banyak memuat rekam jejak potret perjuangan
khilafah pada masa itu. Dengan menilik kembali surat kabar Bendera
Islam, kita dapat memahami antusiasme perjuangan khilafah di Indonesia
pada masa itu.
Setelah penulis menelusuri dinamika umat Islam di Indonesia pada
permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan
bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki
Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri
dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam
lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk
memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk
khilafah baru.
Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal
dengan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa
karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pusat maupun
cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka
yang hadir menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan
tersebut yakni:
1. Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan
kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3. Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang
disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan
tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di
dunia
4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita
persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi
sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan
bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini
masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan
mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju
negara bangsa yang merdeka.
Sejak saat itu perjuangan khilafah berangsur-angsur hilang tergantikan
oleh perjuangan nasionalisme. Dilupakannya persoalan khilafah oleh ummat
Islam Indonesia dikarenakan terjadinya perubahan orientasi perjuangan
sejumlah pergerakan pada masa itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad
lebih memfokus perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Selain
itu, perselisihan paham yang telah lama terjadi di antara kelompok
pembaharu yang diwakili Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok
tradisional (NU), kian meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula
menjadi perjuangan bersama pada akhirnya ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling konsen dalam menjaga
persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma lagi dihadapan
umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam
perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat
Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di
Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan
nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka dengan gagasan
nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia Islam terhadap persoalan
khilafah yang menghilang, akibat konspirasi Barat, mengakibatkan Sarekat
Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada
perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan. Maka sejak saat itulah
perjuangan khilafah tidak terdengar lagi di Indonesia hingga kemudian
muncul pada saat ini gelombang kedua perjuangan khilafah di Indonesia.
Penutup
Bendera Islam menjadi bukti sejarah bahwa perjuangan penegakan Khilafah
Islam di Indonesia telah dimulai sejak awal keruntuhan Khilafah Turki
Utsmani meski perjuangan itu belum membuahkan hasil yang dicita-citakan
hingga detik ini. Pergerakan-pergerakan yang memperjuangkannya telah
menemui kegagalan. Sejarah kegagalan ini seyogianya menjadi pelajaran
bagi umat Islam di Indonesia. Terutama menjadi bahan evaluasi bagi
mereka yang terlibat dalam gelombang perjuangan penegakan khilafah hari
ini. Dengan begitu agar tidak mengulang kembali kegagalan perjuangan
khilafah di Indonesia
Sumber : http://septianmenulis.blogspot.com